Urgensi Penguatan Pengaturan Start-Up di Indonesia dalam Kasus eFishery
Kasus eFishery seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak termasuk regulator di Indonesia untuk lebih menguatkan sistem hukum terhadap start-up di Indonesia.
Muhammad Farhan, S.H.
2/10/20254 min baca


"Het Recht Hink Achter De Feiten Aan" adalah ungkapan dalam bahasa Belanda yang artinya hukum selalu tertinggal dari kenyataan. Ungkapan ini menjelaskan bahwa hukum tidak selalu bisa mengikuti perkembangan zaman yang dinamis. Dengan majunya inovasi dan teknologi dewasa ini, tidak bisa dipungkiri bahwa hukum harus “melindungi” kenyataan, bukan sebagai “pemimpin” untuk menkomandoi kenyataan. Salah satu inovasi dan teknologi yang muncul adalah start-up. Start-up adalah sebuah “embrio” perusahaan yang di cita-citakan akan menjadi besar suatu saat nanti.
Indonesia memiliki beberapa start-up yang menjadi kebanggaan, seperti GoTo, Traveloka, Carsome, dan lain sebagainya. GoTo misalnya, atau nama resminya adalah PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, yang mana merupakan 2 (dua) perusahaan start up yang merger dari Gojek dan Tokopedia dan sudah melantai ke bursa saham. Artinya, GoTo berani untuk maju dan menjadi perusahaan yang “dewasa”, terlepas dari latar belakang masuknya GoTo ke lantai bursa karena perlu suntikan dana lebih.
Namun, belakangan ini, publik di ramaikan oleh kasus eFishery, suatu start-up yang bergerak di bidang perikanan, yang melakukan praktik fraud terhadap laporan keuangan yang dilaporkan kepada investornya. Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan latar belakang kasus eFishery, apa dampak dari kasus ini, dan apa pembelajaran yang bisa diambil dari sisi hukum untuk penguatan pengaturan start-up di Indonesia
Sekapur Sirih Kasus eFishery dan Dampaknya kepada Indonesia
eFishery merupakan start-up Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 2013 dan sudah menjadi start-up dengan level unicorn. eFishery telah mendapatkan suntikan dana dari investor pendanaan Seri D sebesar US$ 200 juta (dua ratus juta Dolar Amerika Serikat) pada 2023. Namun, pada tahun 2024, eFishery diduga melakukan fraud dalam laporan keuangannya kepada investor. Dilansir dari Big Alpha, eFishery menyampaikan kepada investor bahwa selama 9 bulan pertama di 2024 (Januari sampai September), perusahaan mencatat keuntungan atau laba, sedangkan laporan hasil investigasi tersebut menemukan kalau sebenarnya eFishery mengalami kerugian. Lebih spesifiknya, angka laba yang dilaporkan sebesar $16 juta (enam belas juta Dolar Amerika Serikat) atau sebesar Rp 260.34 miliar (dua ratus enam puluh koma tiga empat miliar rupiah). Namun berdasarkan laporan hasil investigasi, angka keuntungan yang sebenarnya hanya $35,4 juta (tiga puluh lima koma empat juta Dolar Amerika Serikat) atau sebesar Rp 576 milar (lima ratus tujuh puluh enam milyar rupiah). Selain itu, mengutip dari CNBC Indonesia, pendiri eFishery melakukan klaim ke investor bahwa eFishery memiliki lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) fasilitas pakan, padahal, kenyataan di lapangan hanya sekitar 24.000 (dua puluh empat ribu) fasilitas pakan.
Kasus eFishery ini memiliki beberapa dampak kepada Indonesia. Dampak pertama yang muncul adalah ketidakpercayaan investor, terutama investor asing, untuk berinvestasi pada start-up di Indonesia yang mengakibatkan penurunan nilai investasi yang masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan berdasarkan laporan ASEAN Investment Report 2024, total investasi yang masuk ke negara ASEAN mencapai sekitar Rp 135 Triliun (seratus tiga puluh lima triliun rupiah), dan Indoensia hanya menerima 29% (dua puluh sembilan persen dari total investasi yang masuk tersebut. Dampak kedua yang akan dihadapi dari kasus eFishery kepada Indonesia adalah ketika kepercayaan investor global menurun, mengakibatkan akses teknologi yang notabene ada di negara maju akan lebih sulit. Lebih lanjut, dampak ketiga yang dihadapi adalah start-up di Indonesia akan goyang ketika tidak ada investor sehingga rentan terhadap pembubaran atau pailitnya start-up tersebut yang akan mengakibatkan pekerja di start-up juga akan terkena dampaknya.
Urgensi Penguatan Regulasi Start-Up di Indonesia
Secara legalitas, Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai start-up. Dari segi pendirian badan usaha, Indonesia masih menggunakan sistem pendirian badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), atau non badan hukum seperti Persekutuan Komanditer (CV), belum ada pengaturan khusus mengenai pendirian start up apakah harus berbadan hukum atau non badan hukum. Kemudian, jenis bisnis model start-up nya juga banyak yang belum diatur di Indonesia. Setidaknya, baru start-up yang berbasis keuangan terutama start-up yang hendak mengembangkan produk transaksional yang telah diatur di Indonesia. Start-up yang hendak mengembangkan produk transaksional di Indonesia harus memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia seperti POJK No. 38/POJK.03/2016 yang diperbarui pada POJK No. 13/POJK.03/2020 (Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi di Bank Umum), PADG NO. 21/ 18 /PADG/2019 (QR Indonesian Standard), PBI No. 20/6/PBI/2018 (tentang Uang Elektronik), PBI No. 14/2/PBI/2012 (Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu), PBI No.19/10/PBI/2017 (APU PPT Sistem Pembayaran), PBI No. 14/23/2012 (Transfer Dana) dan POJK 77/ POJK.01/2016 (Layanan Pinjam Uang Berbasis Teknlogi Informasi). Kasus eFishery penting untuk meningkatkan urgensi penguatan regulasi start-up di Indonesia dari segi pengaturan ijin pendirian start-up di sektor-sektor lainnya selain sektor keuangan contohnya di bidang perikanan seperti eFishery perlu dikuatkan regulasi pendiriannya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari segi penggalangan dana yang dilakukan oleh start-up, setidaknya ada 2 metode penggalangan dana yang dilakukan, yakni melakukan mekanisme crowdfunding atau urun dana dan penerimaan dana dari modal ventura. Di Indonesia, metode crowdfunding juga telah diterapkan, misalnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 57 /POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi (Securities Crowdfunding). Peraturan tersebut menggantikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Sedangkan dari penerimaan dana dari modal ventura telah diatur dalam POJK Nomor 25 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Modal Ventura Syariah. Regulasi-regulasi tersebut masih memiliki kekurangan yakni perlindungan yang konkret terhadap investor, dominasi investor asing atas management start-up, dan ketidakseimbangan posisi tawar dalam perjanjian investasi.
Penutup
Penulis memahami bahwa inovasi tidak bisa menunggu peraturan yang akan muncul. Namun, selalu terbuka bagi hukum untuk menguatkan inovasi yang ada. Kasus eFishery seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak termasuk regulator di Indonesia untuk lebih menguatkan sistem hukum terhadap start-up di Indonesia. Selain itu, keseimbangan perjanjian investasi, keterbukaan informasi juga harus dilaksanakan demi kenyamanan investor untuk berinvestasi ke start-up di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Farhan, S.H.
Penulis adalah, Praktisi Hukum yang berdomisili di Jakarta
Korespondensi dapat dilakukan melalui email: voxlawyers@gmail.com
Hubungi Kami
Phone: +6282123387227
Fax: +6282123387227
Email: voxlawyers@gmail.com