Mitigasi Risiko Sertifikat Tanah Elektronik dalam Bisnis Properti
Pelaku bisnis properti masih mempertanyakan, apakah hak atas tanah proyeknya yang berupa sertifikat elektronik dapat menjadi jaminan kredit.
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, S.H.
11/18/20244 min baca
Waktu sudah berlarut senja, perbincangan nampaknya belum juga mereda. Suasana perbincangan semakin hangat terlebih dibahas permasalahan sertifikat tanah elektronik.
Seorang developer properti dan praktisi perbankan yang ikut dalam perbincangan saling memberikan pernyataan sekaligus pertanyaan atas penerapan sertifikat tanah elektronik.
Perbincangan ini menukik tajam pada penerapan sertifikat tanah elektronik sebagai jaminan kredit bank saat realisasi KPR.
Jaminan Kredit
Semua peserta yang berbicang sepakat, digitalisasi menjadi keniscayaan tidak terkecuali kebutuhan transformasi digital bukti hak atas tanah tanah dari sertifikat fisik menjadi sertifikat tanah elektronik.
Sistem pemerintahan berbasis elektronik sudah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Dalam layanan pendaftaran pertanahan, pemerintah mulai menerapkan sertifikat elektronik sebagai pengganti sertifikat tanah sebagaimana lazimnya dikenal selama ini.
Saat ini sertifikat tanah elektronik diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan dari ketentuan dalam Peraturan menteri Negara Agraria Nomor 1 tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.
Penerapan sertifikat tanah elektronik kabarnya sudah diterapkan negara-negara lain di belahan dunia.
Di negara tetangga kita Malaysia, dikenal dengan istilah E Tanah, di Filipina dikenal E Title, sedangkan di Singapura dikenal dengan istilah MyProperti.
Sebagai sesuatu yang baru pastinya pemerintah kita masih terus berbenan menyempurnakan ketentuan teknis untuk penerapannya.
Perbincangan sore ini setidak-tidaknya dapat menjadi pemantik untuk bagian dari proses penyempurnaan secara teknis penerapan sertifikat tanah elektronik.
Pelaku bisnis properti masih mempertanyakan, apakah hak atas tanah proyeknya berupa sertifikat elektronik dapat menjadi jaminan kredit.
Mereka bertanya bagaimana mekanisme penyimpanan sertifikat tanah elektronik yang terdaftar atas nama dirinya sendiri dan atas nama pemilik tanah yang melakukan kerja sama dengannya.
Apakah tidak terdapat kendala atas realisasi penjualan yang mereka lakukan baik secara tunai, tunai bertahap atau realisasi KPR?
Pelaku usaha properti menyadari pembangunan proyek perumahan baik rumah tapak maupun rumah susun umumnya membutuhkan dukungan kredit modal kerja bank.
Mereka tidak bisa mengandalkan semata-mata dari dana sendiri atau uang muka dari konsumen.
Bahkan komposisi pembiayaan bank masih relatif besar dibandingkan dengan dana sendiri yang dimiliki developer.
Apabila bank belum siap menerima sertifikat tanah elektronik sebagai jaminan kredit properti maka dukungan modal kerja bank pasti terkendala dan realisasi kredit pemilikan rumah atau kredit pemilikan apartemen terhambat.
Cash flow keuangan developer pastinya terganggu sehingga penyelesaian pembangunan proyek properti menjadi tertunda.
Developer membutuhkan kepastian kesediaan perbankan untuk menerima sertifikat tanah elektronik sebagai jaminan kredit bank.
Developer berharap bank bersedia menerima sertifikat elektronik sama seperti sebelumnya saat mereka menerima sertifikat analog sebagai jaminan kredit.
Mitigasi Risiko
Praktisi perbankan yang ikut dalam perbincangan menyatakan perbankan masih membutuhkan kepastian bahwa layanan sertifikat tanah elektronik ini agar aman mengakomodasi kepentingan bank.
Kepentingan bank disini menyangkut risiko hukum maupun risiko kredit yang harus termitigasi secara baik.
Penerapan sertifikat elektronik jangan justru menimbulkan kelemahan aspek yuridis atau munculnya tuntutan hukum baik secara perdata maupun pidana.
Bank juga dapat dengan mudah melakukan langkah-langkah eksekusi terhadap jaminan apabila kredit debitur sudah bermasalah (non performing loan).
Bank katanya sudah terbiasa menyimpan sertifikat tanah yang menjadi agunan kredit debitur disertai dengan dokumen perjanjian kredit dan akta-akta accesoir lainnya.
Akta-akta accesoir berupa surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT), Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan sertifikat tanah hak tanggungan yang membuktikan bahwa hak atas tanah itu dibebani dengan hak tanggungan.
Penyimpanan dilakukan di ruangan yang khusus untuk penyimpanan dokumen.
Penerapan sertifikat elektronik berdampak kepada kebutuhan untuk menyempurnakan tata kelola bisnis bank dalam hal menerima jaminan sertifikat tanah elektronik.
Karena bank sangat memegang teguh prinsip kehati-hatian (prudential banking principle). Berdasarkan prinsip prudential banking maka bank harus membenahi ketentuan internalnya.
Beliau menambahkan lagi, bahwa memang benar sebelumnya bank-bank sudah mulai menerapkan pembebanan hak tanggungan secara elektronik (HTel).
Penerapan pembebanan hak tanggungan dan roya atas hak tanggungan secara ektronik sudah berjalan dengan baik dan relatif tidak menemukan kendala dalam penerapannya.
Namun katanya, dalam perspektif perbankan masih banyak pertanyaan-pertanyaan apabila sertifikat elektronik diterima sebagai jaminan kredit.
Pertama, bagaimana mekanisme penyimpanan dokumen sertifikat tanah elektronik oleh bank.
Kedua, bagaimana perlindungan bank saat realisasi kredit dilakukan dengan hanya menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak langsung ditandatangani Akta Pembebanan Hak Tangungan (APHT) dan pendaftaran hak tanggungan.
Ketiga, bagaimana layanan sertifikat elektronik mengakomodir adanya realisasi KPR atas sertifikat induk dengan menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)?
Disamping ketiga pertanyaan di atas, masih terdapat pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Keempat, sampai sejauh mana keamanan dari sistem layanan pertanahan sertifikat elektronik ini dari ancaman peretasan data pihak yang berniat melakukan kejahatan?
Kelima, apakah masih terdapat kemungkinan pemohon kredit menjadikan sertifikat tanah elektroniknya sebagai agunan kredit kepada beberapa bank?
Sertifikat tanah elektronik nampaknya akan terus menjadi obyek yang diperbincangkan karena masalah ini sangat layak diperbincangkan.
Permasalahan ini menyangkut kelangsungan bisnis properti untuk memenuhi kebutuhan rumah tempat tinggal bagi warga masyarakat.
Bukan saja terpenuhinya kebutuhan rumah yang layak tetapi juga memberikan kepastian hukum dan perlindungan atas hak kepemilikan.
Penutup
Penerapan sertifikat elektronik masih membutuhkan penyempurnaan sistem layanan pertanahan untuk dapat mengakomodir kepentingan stake holder.
Pelaku usaha properti dan perbankan merupakan pihak-pihak yang masih perlu banyak didengar pendapatnya.
Badan Pertanahan Nasional dapat melakukan penyempurnaan dan memberikan penjelasan atas hal-hal tersebut di atas agar penerapannya tidak menemukan kendala nantinya.
Keyakinan untuk keberhasilan penerapan sertifikat elektronik sangat tergantung kepada kemampuan menjelaskan secara baik atas semua hal yang masih diragukan para pihak pemangku kepentingan.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Artikel ini ditulis oleh: Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, S.H.
Penulis adalah Director Vox Law, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan yang berdomisili di Jakarta. Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini tengah mengikuti Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: voxlaw@gmail.com
Hubungi Kami
Phone: +6282123387227
Fax: +6282123387227
Email: voxlawyers@gmail.com