Keabsahan Penggunaan Bahasa Asing dalam Perjanjian di Indonesia
Membuat perjanjian sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia atau setidak-tidaknya menggunakan penerjemahan bahasa Indonesia apabila perjanjian tersebut menggunakan bahasa asing
Muhammad Farhan, S.H.
8/25/20243 min baca
Hubungan manusia di jaman sekarang tidak terbatas hanya pada sektor regional dan nasional, melainkan sampai merambah ke internasional. Kemampuan menjalin hubungan satu sama lain dapat tersalurkan dengan terbukanya peluang usaha baru bagi seluruh pihak internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang gencar mengajak dunia internasional untuk berinvestasi di Indonesia dalam kaitannya untuk pembangunan Indonesia, terutama dari segi infrastruktur.
Masifnya pengembangan proyek infrastruktur di Indonesia dengan metode penanaman modal asing tentulah didasari dengan perjanjian antar negara dengan sektor swasta luar negeri yang memiliki variasi perjanjian yang beragam. Penulis tertarik untuk melihat apakah penggunaan bahasa asing, terutama bahasa inggris, adalah bahasa yang sah dan legal sebagai bahasa yang digunakan dalam perjanjian di Indonesia?
Terdapat 2 (dua) hal yang perlu dibahas untuk menjawab ini yakni perjanjian berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan bahasa Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa).
Keabsahan Sebuah Perjanjian
Dari sisi perjanjian, Indonesia berpaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai rujukan hukum untuk membuat perjanjian yang sah. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah mengatur 4 (empat) syarat perjanjian yakni:
(a) adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
(b) kecakapan para pihaknya;
(c) adanya objek tertentu yang diperjanjikan; dan
(d) suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, dimana pelanggaran atas dua hal ini akan menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, jika dilanggar menyebabkan perjanjian batal demi hukum.
Selain syarat sah perjanjian, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata juga menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan dasar ini, seharusnya apapun bentuk perjanjiannya, termasuk penggunaan bahasa yang dipakai dalam perjanjian, selama tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, adalah sah dan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Namun apakah demikian?
Ketentuan Hukum Tentang Bahasa Indonesia
Dari sisi bahasa Indonesia, telah ada peraturan terkait penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, Pasal 31 UU 24 Tahun 2009 yang dikuatkan dengan Pasal 26 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Pengaturan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 43 ayat 3, 4 dan ayat 5 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Akta Notariil dapat dibuat dengan menggunakan bahasa asing di mana apabila menggunakan bahasa asing, Notaris berkewajiban untuk menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Kemudian, apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan bahasa asing yang digunakan dalam Akta Notariil, Notaris bisa meminta penerjemah resmi untuk menerjemahkan bahasa asing yang digunakan dalam Akta Notariil tersebut.
Penutup
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dari 2 (dua) hal tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun dari sisi bahasa Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang berkaitan dengan orang maupun badan hukum di Indonesia, yang salah satu atau para pihak tunduk pada hukum Indonesia, maka sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dipakai dalam perjanjian, atau setidak-tidaknya menggunakan penerjemahan bahasa Indonesia apabila perjanjian tersebut berdasar dengan menggunakan bahasa asing untuk memenuhi syarat formil dari perjanjian tersebut. Sebagai catatan, sepanjang perjanjian yang dbuat tersebut tidak melanggar syarat obyektif, maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum. Karena perjanjian menurut hukum dilihat dari isi klausul perjanjian bukan bahasa yang digunakan dalam klausul perjanjian tersebut.
Penerjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia juga perlu diperhatikan bagi para pihak dalam perjanjian agar tidak muncul banyak perspektif untuk memahami isi dari perjanjian tersebut yang memungkinkan munculnya sengketa di kemudian hari. Oleh karena itu, masyarakat dapat menggunakan jasa penerjemah bahasa yang bersertifikasi legal di Indonesia untuk membantu memahami isi dari perjanjian tersebut.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Farhan, S.H.
Penulis adalah, Praktisi Hukum yang berdomisili di Jakarta
Korespondensi dapat dilakukan melalui email: voxlawyers@gmail.com
Hubungi Kami
Phone: +6282123387227
Fax: +6282123387227
Email: voxlawyers@gmail.com