Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat

Saat debitur dinyatakan dalam PKPU/Pailit, pihak bank berpotensi menghadapi risiko hukum dan menghadapi risiko kredit, bahkan risiko reputasi.

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, S.H.

9/30/20244 min baca

Kasus-kasus PKPU/Kepailitan di Pengadilan Niaga semakin meningkat. Data Sistem informasi Penulusuran Perkara (SIPP) di lima Pengadilan Niaga Indonesia memperlihatkan pada Kuartal I 2021 terjadi peningkatan sebanyak 158% dibandingkan periode yang sama di Kuartal I 2020.

Jika ditelusuri, permohonan PKPU/Kepalitan umumnya dilakukan oleh kreditur lain bukan oleh bank. Debitur yang tersandung kasus PKPU/Kepailitan ini dapat meningkatkan risiko bagi perbankan baik risiko hukum maupun risiko kredit bahkan risiko reputasi.

Melihat realitas ini, bank sebaiknya waspada serta melakukan mitigasi risiko terhadap maraknya kasus PKPU/Kepailitan saat ini.

Akibat Hukum PKPU/Kepailitan

Debitur dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengakibatkan tidak berwenang sepenuhnya terhadap sebagian atau seluruh harta kekayaannya. Dalam melakukan tindakan hukumnya, debitur harus mendapat persetujuan pengurus.

Saat debitur dinyatakan dalam pailit maka debitur sudah tidak berwenang lagi dalam melakukan tindakan hukumnya terkait harta kekayaan yang dimilikinya. Untuk kepentingan debitur dalam pailit, kewenangan bertindak hanya dapat dilakukan oleh kurator.

Pengurus dan kurator bertugas mengurus dan membereskan proses PKPU/Kepailitan berdasarkan penetapan Pengadilan Niaga dalam amar putusan PKPU/Kepailitan. Pengurusan dan pemberesan harta dalam PKPU/Kepailitan dilakukan di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK/PKPU).

Selama menjalankan tugasnya, mereka dituntut untuk bertindak secara independen dan tidak boleh terdapat benturan kepentingan. Pengurus/Kurator berhak atas imbalan jasa yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).

Keterbatasan kewenangan bertindak dalam kasus PKPU/Kepailitan membuat debitur tidak leluasa lagi mengelola harta kekayaannya. Ini berarti seluruh kekayaan debitur baik sisi aktiva maupun pasiva hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pengurus saat debitur dalam PKPU atau hanya dapat dilakukan oleh kurator saat debitur dalam Pailit.

Tindakan hukum dari sisi aktiva dalam berhubungan dengan bank seperti penarikan dana tabungan, penarikan giro, transfer dana, dan pencairan deposito. Sedangkan tindakan hukum dari sisi pasiva seperti permohonan pencairan kredit, penandatanganan AJB dalam realisasi KPR/KPA dan permohonan pencairan dana jaminan.

Bank tidak dapat mengabulkan permohonan debitur untuk melakukan tindakan hukum apabila dilakukan sendiri saat debitur sudah dinyatakan PKPU/Pailit. Bank memiliki risiko hukum apabila mengabulkan permohonan itu, karena tindakan hukum yang dilakukan debitur sendiri tidak sah.

Bank mengetahui debitur dalam PKPU/Pailit berdasarkan pengumuman yang dilakukan oleh Pengurus/Kurator di surat kabar. Mereka juga akan berkorespondensi kepada perbankan atas PKPU/Kepailitan memberitahu bahwa debitur dalam PKPU/Pailit.

Kasus PKPU/Kepailitan membuat debitur harus segera mengajukan proposal perdamaian yang menawarkan skema penyelesaian kewajiban utang kepada para kreditur. Dalam banyak kasus PKPU/Kepalitan ini, jumlah harta debitur lebih kecil dibandingkan dengan kewajibannya. Dengan demikian, saat debitur dinyatakan dalam PKPU/Kepailitan terjadi kompetisi dari para kreditur untuk memperebutkan harta debitur yang tersandung dalam PKPU/Kepailitan.

Untuk mempertahankan kepentingannya, debitur akan berusaha meyakinkan kreditur untuk menyelesaikan kewajibannya dalam proposal perdamaian yang dibuatnya. Usaha untuk meyakinkan seluruh kreditur tidaklah mudah, debitur harus memiliki kemampuan untuk membuat skema penyelesaian masuk akal tetapi juga harus mampu men-delivery-nya untuk meyakinkan para kreditur.

Kepentingan Hukum Bank

Bank harus melindungi kepentingannya saat debitur dinyatakan dalam PKPU/Pailit. Dalam kasus ini, bank berpotensi menghadapi risiko hukum dan menghadapi risiko kredit bahkan risiko reputasi. Risiko-risiko yang dihadapi ini tentu saja sangat merugikan perbankan. Laba dapat tergerus, harga saham bisa menjadi turun dan reputasi menjadi terganggu.

Risiko hukum terjadi akibat adanya kelemahan perikatan terhadap perjanjian kredit dan pengikatan objek jaminannya. Sedangkan risiko kredit terjadi akibat debitur tidak dapat membayar kewajiban kreditnya sehingga kolektibilitasnya kredit akan turun dari semula masih performing loan menjadi non performing loan (NPL).

Apabila kredit menjadi bermasalah maka pencadangan kerugian yang harus dilakukan bank akan semakin besar. Sedangkan risiko reputasi dapat terjadi saat debitur bank yang dinyatakan PKPU/Kepailitan adalah pengembang properti karena konsumen properti menuntut kepemilikan objek properti yang sudah direalisasikan bank dalam fasilitas KPR/KPA inden.

Posisi hukum bank dalam hubungan dengan nasabah sebaiknya harus dipastikan kembali. Salah satu yang sangat penting adalah pengikatan objek jaminan kebendaan yang dilakukan bank. Bank juga harus memastikan kembali kelengkapan ada atau tidaknya jaminan pribadi yang diberikan debitur saat menerima fasilitas kredit dari bank. Karena bank dapat menelusuri aset pemberi jaminan pribadi (bortocht) untuk meng-cover kerugian bank apabila jaminan kebendaan debitur tidak dapat meng-cover kerugian bank.

Kepentingan hukum bank relatif terlindungi di saat pengikatan objek jaminannya sudah sempurna dengan hak tanggungan, hipotek atau gadai. Dalam praktek kasus PKPU/Kepailitan, meskipun pengikatan objek jaminan sudah sempurna, kepentingan hukum bank tetap terdegradasi. Dalam PKPU terdapat legal moratorium yaitu adanya masa stay di mana bank tidak dapat melakukan penagihan dan eksekusi terhadap jaminan debitur.

Selama masa PKPU, semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan (pasal 242 UUK/PKPU). Hak eksekusi yang dimiliki oleh bank selaku kreditur separatis terhadap harta debitur yang menjadi agunan pelunasan utang ditangguhkan. Penangguhan berlaku selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang (pasal 246 UUK/PKPU).

Dalam kasus Kepailitan maka hak bank selaku kreditur separatis untuk melakukan eksekusi terhadap harta pailit ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Jangka waktu penangguhan itu berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi (pasal 56 dan 57 UUK/PKPU).

Bank selaku kreditur separatis harus melaksanakan hak eksekusi dalam jangka waktu paling lambat dua bulan setelah dimulai keadaan insolvensi. Selama masa ini bank dapat melakukan penjualan atas benda yang menjadi jaminan pelunasan utang (pasal 59 UUK/PKPU). Bank sulit dapat melaksanakan haknya untuk melakukan eksekusi dan penjualan jaminan dalam rangka pelunasan utang pada masa waktu yang terbatas ini.

Beberapa ketentuan normatif dalam UU No.37/2004 tentang Kepailitan/Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang membuat hak bank selaku kreditur separatis yang dijamin dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan benar-benar menjadi terdegradasi. Memperhatikan keadaan ini, maka bank harus waspada maraknya kasus PKPU/Kepailitan yang dapat mendera debiturnya. Konsekuensi logisnya adalah bank harus melakukan langkah-langkah yang cerdas (smart) untuk mengelola risiko yang dihadapinya.